Kamis, 03 Agustus 2017
Bermalam di kampung yang nyaris tenggelam
Puluhan rumah di Kampung Beting, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, tak lagi berpenghuni. Rumah-rumah itu dibiarkan kosong setelah cukup lama ditinggal pemiliknya. Mereka memilih hijrah sejak abrasi menghantui pemukiman warga.
Di sekitar rumah-rumah tak bertuan, terlihat pucuk-pucuk nisan sebagai penanda bahwa tempat tersebut dulunya pemakaman. Kuburan itu bersebelahan dengan sebuah masjid yang pelatarannya tak pernah kering dan selalu becek serta berlumut. Warga masih mempergunakan masjid itu untuk beribadah.
Bandarq - Kami bertemu dengan Aca Sigianto dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Dia menceritakan, tak terhitung banyaknya warga yang pergi dari kampung itu karena tak tahan selalu kebanjiran. Mereka tak bisa bebuat banyak dan terpaksa membiarkan rumah hancur termakan abrasi. Ada empat RT di Kampung Beting yang terkena dampak abrasi.
"Kalau dirata-rata sekitar 50 KK satu RT. Jadi ada sekitar 200 KK yang terkena. Mereka menyeberang dan ada juga mereka yang ke Muara Angke," kata Ace saat berbincang dengan merdeka.com di Kampung Beting, Bekasi, Jawa Barat, Senin (24/7).
Sebagian besar warga Kampung Beting berprofesi sebagai nelayan. Namun pendapatan mereka tidak menentu. Hasil tangkapan mereka juga dijual tidak jauh dari Teluk Jakarta. Meski tinggal di Desa Pantai Bahagia, warga di sana justru menderita. Penyebabnya, abrasi dan air rob yang selalu menggenangi rumah mereka. Tidak heran jika banyak warga yang memilih meninggalkan Desa Pantai Bahagia.
"Perekonomian warga sekarang sangat minim. Kalau dirata-rata penghasilan per bulan Rp 500.000," jelasnya.
Alpiah sudah 36 tahun tinggal Kampung Beting, Desa Pantai Bahagia. Sudah lama dia ingin pindah dari kampung yang membesarkannya. Tetapi ada beberapa hal yang jadi pertimbangan. Mulai dari rumah peninggalan orang tuanya, hingga anaknya yang masih sekolah di kampung tersebut.
"Kalau dijual rumah itu juga borongan sama orang sini mah. Laku Rp 3 juta terus saya mau ke pindah ke mana. Kalau di luar kampung ini pasti Rp 3 juta itu cuma dapet berapa? 1 meter saja enggak dapet," kata dia dengan nada merendah.
Untuk bertahan hidup, dia menabung dengan pendapatan yang dihasilkan dari menjual dodol, sirup berbahan dasar mangrove dan penghasilan suaminya sebagai buruh pabrik di Cikarang, Jawa Barat. Namun Alpiah sudah berpikir jauh. Dia punya rencana pindah ke Tangerang. Pilihan terakhirnya, bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi.
Bandarq - Bukan hanya Alpiah, Siti Suabah juga sejak kecil tinggal di Kampung. Perempuan yang berprofesi sebagai guru di Madrasah Ibtidayah Masyaul Huda ini juga tak ingin berlama-lama menetap di kampung yang tak pernah kering. Suabah dan keluarganya sudah mencari tempat tinggal baru yang lebih layak untuk dihuni.
"Sudah beberapa kali rumah ini ditinggikan. Ya kalau pindah mah memang ada tujuan ke situ tapi ini kan ada sekolah wakaf keluarga," kata Suabah.
Saat azan Magrib berkumandang, warga Kampung Beting, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, rata-rata sudah berada di dalam rumahnya masing-masing. Kampung itu begitu sepi. Tidak ada aktivitas yang dilakukan warga di luar rumah. Dari kejauhan hanya terdengar sayup-sayup suara anak-anak kecil melantunkan ayat suci Alquran.
Malam itu, Senin (24/7), kami menginap di rumah Alpiah. Dia tinggal bersama suaminya, Rakhmat, anak perempuan satu-satunya, Kaila, serta adik bungsu Alpiah. Rumah berukuran 6x10 meter itu bekas peninggalan orang tuanya. Rumah itu sudah beberapa kali direnovasi, diberi tanggul. Minimal, itu bisa mengurangi keresahan Alpiah dan keluarga.
"Sudah biasa air rob datang ke rumah. Ini sudah hari ke-5," kata Alpiah saat berbincang dengan kami teras rumahnya.
Angin malam itu berhembus cukup kencang, pertanda bagi warga untuk bersiap-siap menyambut air rob yang datang tanpa diundang. Benar saja, sekitar pukul 21.00 WIB, air mulai mengalir ke teras rumah Alpiah.
Biasanya, jika musim panas air rob datang menjelang subuh. Sedangkan ketika musim hujan, air datang saat malam hari hingga pagi. Tapi sekarang, air bisa datang kapan saja. "Sekarang mah enggak bisa diprediksi. Kita mah siap-siap saja," lanjutnya.
Alpiah menunjukkan beberapa ruangan di rumahnya yang sudah ditinggikan pondasinya. Tapi tetap saja tak membuat tidurnya nyenyak. Rumahnya tetap saja kebanjiran meski sudah ditinggikan. Repotnya, beberapa bagian rumah terkikis akibat terendam air laut.
Hanya sekitar 48 menit, air sudah menggenangi halaman rumah Alpiah. Tak ada gurat kekhawatiran di wajah Alpiah. Sambil membersihkan dapur usai memasak, dia bercerita. Saat masih berusia 1 tahun, kondisi Kampung Beting tidak seperti sekarang.
Bandarq - Dulu, mendiang ayahnya memiliki hampir tujuh hektare tambak udang dan ikan yang terletak di belakang rumah. Saban kali panen ikan dan udang, keluarganya bisa mengantongi Rp 2 juta per hari. "Dulu mah, waktu pulang sekolah, tuh halaman di depan rumah yang luas itu sering penuh sama tong besar setiap hari. Panen ikan sama udang," kenang Alpiah.
Sampai akhirnya pada 2005, ladang tambak mulai sering tergenang banjir. Ikan dan udang terbawa air pasang. Abrasi perlahan mengikis bibir pantai. Kisaran tahun 2008, warga yang semula berjaya dari hasil tambak, kini justru sulit mencari sumber penghasilan. Sejak saat itu, abrasi semakin kuat menggerus bibir pantai. Hutan mangrove telah gundul, tak ada lagi yang bisa menahan derasnya arus laut.
Sambil menyapu, sesekali pandangannya mengarah ke teras rumah. Air semakin tinggi menggenangi halaman rumah. Banjir rob menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Alpiah dan warga Kampung Beting. Setiap bulan, mereka pasti kebanjiran. Tak peduli itu musim kemarau. Ketika laut pasang, air pasti mengalir.
"Sebulan sekali pasti banjir. Sampai batas jendela itu," ujar Alpiah menunjuk jendela ruang tengah yang tingginya 75 cm dari lantai.
Sekitar pukul 23.05 Wib, Alpiah memutuskan untuk tidur. "Saya tidur duluan ya. Pasrah saya mah. Kalau masuk ke dalam rumah juga sudah biasa. Ini hari ke lima jadi enggak terlalu tinggi kayaknya," kata Alpiah pamit masuk ke dalam kamarnya.
Pukul 23.57 Wib, air menembus ke ruang tamu. Udang kecil, kepiting kecil ikut terbawa air, singgah ke ruang tamu rumah Alpiah. Anggota keluarga Alpiah tertidur pulas. Seolah tak peduli angin kencang dan air yang menggenang sudah menyentuh mata kaki orang dewasa dan makin tinggi.
Setelah hampir dua jam, air berangsur surut. Malam itu Alpiah dan keluarga cukup beruntung lantaran air tak merendam rumahnya seperti hari-hari sebelumnya.
Suara azan Subuh membangunkan Alpiah. Dia bergegas bangun dan menuju kamar mandi yang letaknya di samping rumah. "Kalau ambil air wudhu di samping ya. Maklum airnya asin. Kalau dulu kan ada sungai bersih kalau sekarang pakai air asin," kata dia.
Bandarq - Selepas salat subuh, dia bergegas membersihkan beberapa bagian rumah yang basah dan lengket karena air laut. Dimulai dari teras rumah, lalu ruang tamu dan terakhir bagian dapur. Setelah semua beres, Alpiah ke luar rumah. Tak berselang lama, dia kembali dengan menjinjing kantong plastik berisi sarapan. Pagi itu dia membeli nasi uduk dan beberapa gorengan pisang dan bakwan.
Jarum jam dinding menunjukkan pukul 07.00 Wib, waktunya Alpiah membangunkan Kaila. "Kaila kalau berangkat sekolah jam 07.30 Wib, cuma sampai jam 10.00 Wib juga sudah pulang," kata Alpiah sambil menuju kamar.
"Alka, neng bangun," seru Alpiah.
Setelah membangunkan Kaila, Alpiah menggelar tikar anyaman. Dia menata piring dan membuka bungkusan nasi uduk yang dibelinya dari warung tak jauh dari rumah. Segelas kopi panas dihidangkan untuk suaminya yang akan berangkat kerja. Suaminya bekerja sebagai buruh pabrik di kawasan Cikarang, Jawa Barat.
Kaila sudah mandi dan siap berangkat ke sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumah. Bocah perempuan itu tidak memakai sepatu. Dia memakai sandal karet berwarna putih. Sebab, sekolahnya di SDN 04 Pantai Bahagia, juga ikut tergenang air rob.
"Di sana becek teh (kakak). Semuanya juga pada pakai sandal," kata Kaila.
Alpiah menceritakan, anaknya dan murid lainnya jarang mengikuti upacara. Sebab, halaman sekolah selalu becek. Dalam setahun, murid SDN 04 Pantai Bahagia hanya upacara tak lebih dari lima kali.
"Sekolah juga becek. Kaila enggak pernah upacara. Jadinya si neng enggak hafal UUD 1945 sama Pancasila. Kalau pagi ada air rob ya enggak sekolah, " kata dia sambil melewati makam yang tidak layak dan masjid yang tidak terawat.
0 komentar:
Posting Komentar